Alkisah, ada seekor kera dan seekor kura-kura hidup di dalam sebuah
hutan. Mereka hidup bersahabat. Kura-kura menjalin persahabatan secara
tulus karena merasa bahwa hidup harus saling berdampingan dan tolong
menolong. Sementara persahabatan yang dijalin Kera didasarkan pada azas
pemanfaatan. Dalam hal ini, Kera sekadar hanya memanfaatkan kura-kura
untuk kepentingan dirinya sendiri.
Misalnya, bila bepergian ke suatu tempat, Sang Kera selalu naik di
atas punggung Kura-kura dengan alasan sakit, lelah, dan sebagainya.
Tetapi hal ini tidak membuat Kura-kura menjadi sakit hati. Dia masih
beranggapan kalau hidup tidak bisa dijalani seorang diri. Harus ada
makhluk lain untuk saling bantu agar hidup lebih mudah dijalani.
Anggapan inilah yang membuat Kura-kura tetap diam walau “dikerjai”
oleh Kera. Misalnya lagi, ketika mereka berjumpa dengan sebuah pohon
yang sedang berbuah lebat, Kera dengan gesit langsung memanjatnya,
sementara Kura-kura disuruh menunggu di bawah pohon. Setelah perutnya
kenyang barulah Kera turun dengan hanya membawa beberapa buah saja dalam
kondisi mulai membusuk.
“Aduh Kura-kura, di atas pohon ternyata buahnya telah banyak dimakan
kelelawar dan musang. Hanya tinggal buah-buah yang agak busuk inilah
yang dapat di petik untukmu,” ujar Sang Kera berkilah.
Begitulah bentuk persahabatan yang dijalin oleh Kura-kura dan Kera
hingga suatu hari datanglah musim kemarau panjang. Situasi ini membuat
pepohonan di hutan menjadi layu dan tidak berbuah. Agar tidak kelaparan,
Kera dan Kura-kura yang sedang berteduh di bawah pohon dekat tepi
sungai mengadakan pembicaraan.
“Apa yang harus kita lakukan untuk menghadapi musim kemarau ini?” tanya Kera membuka pembicaraan.
Kura-kura tidak menjawab karena dia tidak pernah berpikir terlampau berat. Hidup dijalaninya begitu saja laksana air mengalir.
Tanpa menunggu jawaban Kura-kura, Kera bertanya lagi, “Bagaimana kalau kita menanam pisang saja karena cepat berbuah?”
“Dari mana kita memperoleh bibitnya?” tanya Kura-kura singkat.
“Kita tunggu saja di tepi sungai ini. Biasanya manusia akan membuang segala macam sampah ke sungai, termasuk pisang,” kata Kera.
Setelah terjadi kesepakatan, mereka segera membuka sebidang tanah di
hutan untuk dijadikan kebun. Selanjutnya, mereka menunggu lagi di tepi
sungai selama beberapa hari hingga akhirnya melihat seonggok batang
pisang yang hanyut bersama aliran sungai.
Sama seperti biasanya, Kera berusaha memanfaatkan persahabatan mereka
untuk memperdaya Kura-kura. Dia menyuruh Kura-kura berenang ke tengah
sungai mengambil onggokan batang pisang itu. Alasannya, Kura-kura lebih
pandai berenang, sementara dirinya sendiri tidak pandai berenang karena
takut air.
Bagi Kura-kura perkataan Kera tersebut merupakan sebuah sanjungan
karena ia memang terbiasa hidup di air. Oleh karena itu, Kura-kura
dengan gembira langsung menceburkan diri ke sungai dan berenang
menghampiri serta membawa batang pisang tersebut untuk diserahkan pada
Kera.
Sesampainya di darat batang pisang itu mereka bagi dua secara “adil”,
menurut anggapan Kera. Caranya dengan membaginya menjadi dua bagian
sama panjang. Bagian atas milik Kera, sementara bagian bawah untuk
Kura-kura. Kura rupanya tahu bahwa buah pisang selalu tumbuh pada bagian
atas.
Tetapi,walau mengambil bagian atas batang pisang, ternyata milik kera
tidak tumbuh sesuai perkiraannya. Bahkan, batang itu menjadi layu dan
kemudian mati. Sementara batang pisang milik Kura-kura malah tumbuh
dengan subur dan akhirnya berbuah lebat karena setiap hari selalu
dirawat dengan disirami menggunakan air sungai.
Setelah buah pisang milik Kura-kura masak, datanglah Sang Kera dengan
siasat liciknya. “Hai Kura-kura, aku lihat buah pisang milikmu telah
masak semua,” kata Kera.
“Iya,” Jawab Kura-kura singkat.
“Bolehkan aku memintanya sedikit saja,” tanya Kera.
“Boleh, tetapi aku tidak bisa memanjat,” jawab Kura-kura.
“Apalah artinya sahabat kalau tidak saling membantu. Aku akan memanjat dan memetiknya untukmu,” kata Kura licik.
Tanpa berpikir panjang Kura-kura menyetujuinya sehingga Kera dengan
sigap langsung memanjat pohon pisang yang telah ranum buahnya tersebut.
Sesapainya di pucuk pohon, dia langsung memakan buah-buah pisang masak
hingga puas, sementara pemiliknya hanya dapat menunggu di bawahnya
dengan hati yang mendongkol. Begitu setiap hari hingga tidak ada lagi
buah pisang yang tersisa.
Singkat cerita, sejak saat itu Kura-kura mengetahui bahwa
persahabatannya dengan Kera hanya didasarkan atas asas pemanfaatan salah
satu pihak saja. Dalam hal ini dirinya menjadi pihak yang dimanfaatkan
Kera. Untuk mencegah agar tidak dimanfaatkan oleh Kera lagi, Kura-kura
memilih untuk menghindarinya. Sejak saat itu, Kura-kura akan langsung
bersembunyi atau pergi menghindar ketika mendengar suara Kera dari jauh.
Ketika kemarau datang lagi pada musim berikutnya dengan membawa cuaca
yang sangat panas, Kera pun berusaha menemukan Kura-kura untuk
bersama-sama mencari makanan. Tetapi, setelah berjalan kesana kemari
Kera tidak menemukan sahabatnya. Karena kelelahan, Kera akhirnya
memutuskan beristirahat di bawah sebuah pohon yang masih agak rindang.
Kera tidak sadar kalau “batu” tempatnya duduk beristirahat tiada lain
adalah punggung Kura-kura yang juga sedang beristirahat dengan
menyembunyikan kepala dan kakinya di dalam cangkang.
Entah mengapa, Kera merasa bahwa di sekitar tempatnya beristirahat
mungkin ada Kura-kura. Kera pun iseng memanggil nama sahabatnya itu,
“Kura-kura kemarilah. Kita sudah lama tidak bersua.”
Tanpa disangka-sangka, dari dalam “batu” tempat duduk Kera keluarlah sebuah suara, “Kuuuuwuk….”
“Kamukah itu Kura-kura?” tanya Kera penasaran.
“Kuuuwuuuk…,” kata Kura-kura dari dalam cangkangnya.
Mendengar suara yang datangnya dari tempatnya duduk, Kera menjadi
marah. Bahkan sangat marah karena mengira suara itu berasal dari alat
kelaminnya yang sedang mengejek. Dengan geram, dia mengancam, “Jika
berani mengejekku lagi akan aku hancurkan kamu!”
Kemudian ia berteriak lagi, “Kura-kuraaaaaa, kemarilah.”
Tetapi jawaban yang diterima hanyalah kata “kuwuk” yang disangka berasal dari “alat kelaminnya sendiri”.
Kemarahan Kera pun akhirnya memuncak dan langsung mengambil batu lalu
memukulkannya berkali-kali pada alat kelaminnya sendiri. Walau melolong
karena sakit yang luar biasa, Kera tetap saja memukuli alat kelaminnya
sendiri hingga hancur. Dan, ketika Kura-kura menjulurkan kepala hendak
menolongnya, ternyata Kera telah meregang nyawa dan akhirnya mati. Kera
yang licik itu mati karena ulahnya sendiri.a
0 Komentar
Berharap memberi masukan untuk lebih baik lagi